MENGENAL TRADISI SUKU OSING DI DESA KEMIREN-BANYUWANGI

Wisata Banyuwangi - Masyarakat suku Osing di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, memiliki berbagai tradisi dan ritual unik yang masih terpelihara sampai sekarang. Selain Barong Ider Bumi yang sudah populer, ada banyak tradisi masyarakat di Desa Kemiren lainnya seperti tradisi Selamatan Sedekah Lebaran, Tradisi Tumpeng Sewu, Tradisi Mepe Kasur, Tradisi Mengunyah Sirih, Ritual Mudun Lemah dan Tradisi Arak-Arakan Pengantin.

SELAMATAN SEDEKAH LEBARAN

Selamatan sedekah lebaran (Foto : Detik.com)
Bagi masyarakat Suku Using di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, saat berbuka puasa di hari terakhir Ramadan atau malam takbiran menjelang hari raya memiliki makna tersendiri.

Warga Kemiren berkeyakinan di malam takbiran juga merupakan momen penting dari serangkaian perayaan Idul Fitri tersebut. Ditiap tahunnya mereka rutin menggelar tradisi "Selametan Sedekah Lebaran" yang dilaksanakan dimasing-masing rumah.

Sedekahlebaran adalah selamatan kemenangan bagi masyarakat Desa Kemiren setelah melaksanakan puasa ramadhan sebulan penuh. Tujuannya agar seluruh keluarga diberi keselamatan saat unjung-unjung (anjangsana) atau silaturahmi di hari Lebaran. Selain itu, kegiatan ini digelar untuk untuk mendoakan leluhur dari warga Kemiren yang sudah meninggal.

Dalam Selametan Lebaran ini, masyarakat Kemiren berkelompok melakukan doa bersama dengan kerabat dan tetangga berjumlah sekitar 10 sampai 20 orang. Mereka secara bersama-sama mengunjungi rumah dari anggota tersebut secara bergantian. Mereka berdoa untuk para leluhur mereka dan untuk keselamatan tuan rumah dalam menjalankan perayaan Idul Fitri.

Uniknya, disaat anjang sana ditiap rumah anggota. Mereka diharuskan makan hidangan yang disediakan. Jadi jika jumlah anggotanya 20 orang, mereka akan bersantap bersama sebanyak 20 kali juga. Tapi sebelumnya dilakukan doa agar tuan rumah selamat, banyak rejeki dan mendapat kesehatan.

Menu Selametan Lebaran bermacam-macam. Mulai dari makanan khas desa Kemiren hingga masakan khas ketupat lebaran pun disajikan untuk ritual tersebut. Semuanya dilakukan untuk melestarikan budaya adat dan tradisi yang mereka anut.

Menyantap hidangan yang disediakan tuan rumah tentunya tidak mudah. Apalagi dalam satu kelompok yang berjumlah sekitar 10 sampai 20 orang. Perut tidak akan muat jika setiap kali harus makan secara penuh, maka untuk mensiasatinya, banyak tamu atau undangan selamatan yang hanya memakan krupuk atau buah-buahan saja.

TRADISI TUMPENG SEWU
Tradisi Tumpeng Sewu suku Osing di Desa Kemiren, Banyuwangi.
(foto : Detik.com)
Tumpeng Sewu merupakan ritual adat selamatan massal yang telah berlangsung turun temurun pada suku Osing di Desa Kemiren, sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa yang mereka terima selama satu tahun.

Tumpeng Sewu artinya tumpeng yang jumlahnya seribu. Disebut demikian karena biasanya setiap kepala keluarga mengeluarkan tumpeng minimal satu. Sedangkan di desa yang berjarak sekitar 5 km dari kota Banyuwangi itu dihuni 1.025 kepala keluarga.

Tumpeng sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala (menghindarkan dari segala bencana dan sumber penyakit). “Kalau ritual itu ditinggalkan, maka akan berdampak buruk kepada masyarakat Desa Kemiren, sehingga warga Osing menjaga tradisi itu hingga turun temurun,” kata sesepuh adat Desa Kemiren, Juhadi Timbul.

"Tradisi tumpeng sewu juga dipercaya dapat menjauhkan warga desa dari malapetaka dan ritual itu sekaligus untuk menghormati datangnya bulan haji atau Dzulhijjah," tuturnya.

Menurut cerita rakyat setempat, selamatan tumpeng sewu tersebut berawal dari cerita seseorang yang menjerit meminta tolong karena kesakitan dan warga yang mendengar jeritan tersebut spontan mencari orang yang minta tolong.

Warga yang menjerit tersebut adalah Mbah Ramisin yang sedang kesurupan, kemudian Mbah Ramisin mengaku bahwa dirinya adalah Buyut Cili (tetua adat Desa Kemiren) yang meminta warga desa setempat melakukan selamatan satu tahun sekali.

Dalam acara selamatan itu, warga juga berdoa agar warga Desa Kemiren dijauhkan dari segala bencana, dan sumber penyakit karena ritual tumpeng sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala.

Sebelum acara selamatan digelar, warga Desa Kemiren biasanya melakukan ritual menjemur kasur secara massal pada siang hari karena dipercaya sumber penyakit berada di tempat tidur. Warga Osing beranggapan bahwa sumber penyakit datangnya dari tempat tidur, sehingga mereka menjemur kasur di halaman rumah masing-masing, agar terhindar dari segala jenis penyakit.

Ritual tumpeng sewu ini ditandai dengan kegiatan di mana setiap rumah membuat nasi dalam bentuk kerucut dengan lauk pauk khas Osing, yakni pecel pithik (ayam panggang dicampur parutan kelapa yang sudah diberi bumbu). Makanan itu lantas ditaruh di depan rumah. Setiap pengunjung yang lewat akan diajak makan bersama secara lesehan di depan rumah. 
Tradisi Tumpeng Sewu suku Osing Banyuwangi
Deretan tumpeng (foto : Tempo.co)
Bentuk mengerucut ini memiliki makna khusus, yakni petunjuk untuk mengabdi kepada Sang Pencipta, di samping kewajiban untuk menyayangi sesama manusia dan lingkungan alam. Sementara pecel pithik mengandung pesan moral yang bagus, yakni "ngucel-ucel barang sithik". Dapat juga diartikan mengajak orang berhemat dan senantiasa bersyukur.
Tradisi Tumpeng Sewu suku Osing Banyuwangi.
Menikmati pecel pithik di depan rumah disepanjang jalan (foto : Kompas.com
Dengan diterangi oncor ajug-ajug (obor bambu berkaki empat), Tumpeng Sewu ini menjadi sebuah ritual yang khas dan tetap sakral. Sebelum selamatan dimulai, masyarakat melakukan "ngarak barong" sebagai simbol penjaga Desa Kemiren. Selain itu mereka juga membakar daun kelapa kering di sepanjang jalan untuk menghilangkan marabahaya. Sebelum makan bersama, warga mengawalinya sholat maghrib berjamaan dan doa bersama

Usai makan bersama, warga membaca Lontar Yusuf (Surat Yusuf) hingga tengah malam di rumah salah seorang tokoh masyarakat setempat. Lontar Yusuf yang merupakan rangkaian dari ritual ini menceritakan perjalanan hidup Nabi Yusuf.

TRADISI MEPE KASUR

Warna kasur setiap warga kemiren sama (foto : Rri.co.id)

Ada tradisi unik yang selalu dilakukan masyarakat adat Using di Banyuwangi, Jawa Timur, setiap menjelang Hari Raya Idul Adha. Yakni tradisi mepe kasur, atau menjemur kasur. Tradisi mepe kasur dilakukan setiap awal bulan Dzulhijah dalam kalender Jawa dan Islam. Tetapi harus dilakukan di malam Senin atau Jumat.

Tradisi Mepe Kasur ini merupakan bagian tak terpisah dari tradisi selamatan desa yang disebut Tumpeng Sewu. Jika Tumpeng Sewu dilakukan pada malam hari, maka tradisi Mepe Kasur dilakukan pada pagi sampai siang harinya. 

Pada siang hari sebelum dilakukan tradisi Tumpeng Sewu, warga desa Kemiren melakukan ritual menjemur kasur (mepe kasur) secara massal.Ratusan kasur itu dijemur berderet-deret sepanjang jalan. Mepe kasur dimulai sejak pukul 07.00 WIB hingga sinar matahari meredup.

Cara menjemur kasur memang tidak berbeda dengan di tempat lain. Kasur di tempatkan di depan rumah atau pinggir jalan, di bawah teriknya matahari. Pada saat tertentu, ibu-ibu akan memukul-mukul kasur dengan rotan untuk menghilangkan debu yang melekat. Yang unik, semua kasur berwarna sama, yakni  hitam dan bertepi merah.

Tradisi mepe kasur suku Osing Banyuwangi.

Memang semua kasur warga Kemiren warnanya khas, yaitu abang cemeng. Abang artinya merah dan cemeng berarti hitam. Abang cemeng merupakan bahasa Using. Sisi atas dan bawah kasur kapuk itu berwarna hitam, sedangkan kelilingnya berwarna merah.

Menurut Timbul, sesepuh desa Kemiren, kasur warga Using memang selalu dibuat demikian, sebagai lambang kerukunan dan semangat bekerja dalam rumah tangga.

Hingga kini, tradisi berkasur hitam merah ini terus menerus diturunkan. Setiap pengantin baru akan menerima kasur baru dengan warna serupa dari orangtua mereka. Mungkin hanya di desa inilah springbed dan laundry kasur tak menemukan pasarnya.

Namun menjadi unik karena kasur itu dijemur secara bersamaan. Karenanya di sepanjang kiri dan kanan jalan desa Kemiren terlihat kasur-kasur dijemur.Kasur yang dijemur juga kasur khusus. Sebab warnanya khas Kemiren yakni abang cemeng. Abang dalam Bahasa Indonesia berarti merah dan cemeng berarti hitam.

Dalam tradisi masyarakat suku osing desa Kemiren, pasangan suami istri yang baru menikah pasti mempunyai kasur abang cemeng. Warna Cemeng atau hitam bertujuan menolak bala atau sial, sedagkan warna merah melambangkan kelanggengan dalam rumah tangga. Jadi setiap pasangan baru berharap terjauh dari sial dan rumah tanggannya langgeng dengan kasur abang cemeng.

Setelah mepe kasur, warga setempat nyekar ke makam buyut Cili, leluhur desa setempat. Setelah itu, acara arak-arakan barong dan arak-arakan obor blarak (daun kelapa kering).

TRADISI MENGUNYAH SIRIH (NGINANG)

(foto : Kompas.com)
'Nginang' merupakan kegiatan mengunyah sirih, tembakau, jambe, gambir dan kapur. Tradisi nginang atau mengunyah sirih ini sudah sulit ditemukan pada masyarakat perkotaan di Indonesia. Namun di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, tradisi nginang ini masih berlangsung dalam masyarakat, meskipun terbatas di kelompok usia lanjut. Dan uniknya, tradisi nginang ini dilombakan setiap tahunnya.

Tujuan lomba ini memang dilatarbelakangi untuk melestarikan tradisi nginang di kalangan masyarakat desa Kemiren. Hal ini karena kegiatan nginang sudah nyaris hilang di kalangan anak muda. Tak heran jika pesertanya adalah nenek-nenek yang berusia 50 tahun ke atas yang merupakan perwakilan dari 28 RT di Desa Kemiren.

Para nenek duduk di kursi yang disediakan panitia sebelum tampil di panggung. Mereka memakai baju terbaiknya yakni jarik dan kebaya.
Ibu-ibu warga desa Kemiren sedang mengikuti lomba Nginang (sumber : grup Facebook Banyuwangi Bersatu)
Setiap peserta membawa tempat kinang mereka. Tempat kinang ada yang terbuat dari kuningan juga kayu. Ukiran mempercantik tempat kinang, baik dari kuningan maupun kayu.
Dalam lomba nginang, nenek-nenek itu harus beraksi di depan para juri. Mereka meracik dan mengunyah sirih sambil melakukan wangsalan atau berbalas pantun, menari atau nembang.

TRADISI MUDUN LEMAH 

Ritual Mudun Lemah suku Osing, Banyuwangi.
(foto : Liputan6.com)
Ritual mudun lemah adalah cara warga Suku Using yang ada di Banyuwangi dalam mengenalkan bumi dan tanah kepada buah hatinya yang baru berusia 7 bulan.

Ritual mudun lemah atau turun tanah ini wajib dilakukan bagi anak yang sudah masuk usia 7 bulan. Ritual mudun lemah ini diawali dengan tarian barong serta mengarak sang bayi bersama keluarga mengelilingi kampung. Usai diarak, pakaian bayi pun dilepas hingga tak ada sehelai benang pun sebagai gambaran bahwa setiap manusia lahir ke dunia tidak membawa apa-apa.

Agar bayi tidak menangis saat mengikuti ritual tersebut, bayi pun diajak bermain kuda-kudaan mengelilingi berbagai jajanan dan persyaratan ritual.

Selanjutnya, sang dalang yang memimpin ritual itu pun langsung membimbing bayi agar kedua kaki bayi dapat menyentuh tanah pertama kalinya. Pada saat itu, sang dalang juga memukulkan tangannya ke tanah sebanyak 3 kali sebagai tanda salam bahwa ada manusia baru yang akan memanfaatkan bumi untuk menjalani hidup hingga meninggal nanti.

KOLOAN, TRADISI SUNATAN SUKU OSING
Ritual Koloan, tradisi sunatan suku Osing, Banyuwangi.
Tradisi Koloan (foto : Kompas.com)
Suku Osing di Kecamatan Glagah, Banyuwangi mempunyai tradisi sunat atau khitan bagi anak-anaknya. Mereka yang akan disunat wajib menjalani ritual khusus yang disebut Koloan. Koloan artinya jebakan. Ritual Koloan dilakukan agar si anak siap karena pada umumnya seorang anak takut kalau disunat.

Dalam tradisi Koloan, sang anak yang akan dikhitan harus ditetesi darah ayam. Dengan dipimpin oleh seorang pemimpin ritual, si anak yang bertelanjang dada duduk di atas kursi kayu kecil, di depannya terdapat beberapa sesaji. Si pemimpin ritual lalu akan berdoa dalam Bahasa Osing sambil mengusapkan bedak di wajah si anak. Kemudian seekor ayam jago warna merah disembelih. Ayam yang dipilih harus berbulu merah dan belum kawin. Darah segar yang keluar dari leher ayam diteteskan di atas kepala si anak dalam beberapa menit hingga ayamnya mati.

Setelah itu si anak dibawa ke sungai dan dimandikan. Saat melangkah, si anak juga harus melewati benang yang diletakkan melintang di tanah. Bagi anak yang akan disunat, setelah mengikuti ritual Koloan ia tidak lagi merasa takut saat akan disunat.

Menurut Sanusi Marhaedi, seorang pemimpin ritual Koloan, menyembelih ayam merupakan simbol pengorbanan seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim yang mengorbankan anaknya Nabi Ismail. Harapannya setelah disunat nantinya si bocah bisa berbakti pada orangtuanya dan  meneladani Nabi Ibrahim dan Ismail. Selain itu juga diharapkan agar setelah melakukan pengorbanan semuanya berjalan dengan lancar dan tidak ada halangan.
Ritual Koloan, tradisi sunatan anak Suku Osing, Banyuwangi.
(foto : Kompas.com)
Ritual Koloan akan diakhiri dengan makan bersama di halaman orangtua si anak dengan menu khas suku Osing, yaitu pecel pithik yang dikuti oleh warga sekitar. 

GEREDOAN, TRADISI MENCARI JODOH SUKU OSING
Masyarakat Suku Osing mempunyai tradisi unik dalam mencari jodoh yang disebut Geredoan. Gredoan, menurut Budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan merupakan tradisi masyarakat Using untuk mencari jodoh terutama di wilayah Kecamatan Kabat dan Kecamatan Rogojampi .  "Gredo ini artinya menggoda. Ini berlaku buat mereka yang gadis, perjaka, duda atau janda. Diadakan bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Biasanya  pada malam hari sebelum paginya selamatan di masjid," jelasnya.

Geredhoan pada awal mulanya digelar di kantung-kantung pemukiman Suku Osing di Banyuwangi, seperti Kecamatan Giri (Desa Boyolangu dan Penataban), Kecamatan Glagah (Desa Banjarsari, Glagah, Bakungan, Keniten, dan Mojopanggang), dan Singonjuruh. Tapi belakangan hanya dilakukan setahun sekali di Desa Kabat, Dadapan, dan Rogojampi. Penyelenggaraannya bertepatan pada acara Maulid Nabi SAW.

Di beberapa tempat dilakukan secara teratur, bahkan ada panitia penyelenggaranya. Tiap keluarga diminta menyiapkan tepung, beras, gula, dan bahan lain untuk membuat kue dan tumpeng, Bahan tersebut ditaruh di rumah gedek (berdinding bambu) dekat masjid. Sambil memasak, para pemudi di dalam bilik itu mengikuti salawat dan ceramah agama.

Sementara itu para lanceng (jejaka) membuat peralatan dan hiasan upacara di luar rumah. Sembari bekerja mereka mengintip kesibukan para gadis lewat lubang gedek. Jika menaksir, lanjut dengan acara ngobrol. Tapi mereka tidak bicara langsung melainkan dibatasi dengan sekat dinding dari bambu itu. Makin malam dilanjutkan dengan komunikasi lebih serius, yaitu meminta kesediaan perempuan menerima cintanya.

Apa tandanya? Si jejaka memasukkan batang lidi janur lewat lubang gedek. Jika si pemudi mematahkan ujung lidi, maka pertanda cintanya ditolak. Sebaliknya bila dibentuk bulatan kecil mirip daun waru berarti cintanya diterima. Kalau sudah begini, dilanjutkan dengan berbalas pantun.
Esoknya, tumpeng dan kue basah seperti nagasari, onde-onde, pisang goreng, lemper, bikang, dan sate telur puyuh ditaruh dalam wadah persegi dari bambu. Di bagian tengahnya ditaruh batang pisang untuk menancapkan telur bertusuk sejumlah 99. Kemudian, dibawa ke masjid untuk dinikmati bersama-sama, sambil bersalawat.

Tradisi Gredoan di Desa Macan Putih, Kecamatan Kabat, Banyuwangi sampat saat ini masih terus terjaga dan berlangsung sangat meriah. Ratusan warga baik dari Desa Macan Putih ataupun dari desa-desa lain beramai-ramai mengunjungi Desa Macan Putih. Belum lagi beberapa atraksi yang ditampilkan serta pawai keliling desa yang menampilkan beberapa hiburan seperti aktraksi tarian tongkat api, musik daerah hingga karnaval boneka yang dibuat oleh masyarakat Desa Macan Putih.

Sedangkan di Desa Gitik, Kecamatan Kabat acara geredhoan diadakan secara ala kadarnya. Tidak selalu bulan Rabiulawal. Di rumah-rumah yang digelar tradisi ini, pintunya dibuka lebar. Namun untuk ke pelaminan tidaklah mudah, karena bisa saja orang tua tak setuju. Ada solusi lain, yaitu kawin nyolong atau kawin lari, hanya dalam arti positif, yakni dinikahkan dengan resmi. Soal jodoh Suku Osing yakin, selama janur belum melengkung, masih ada kesempatan pihak lain untuk memperistri. Umumnya, perkawinan mereka juga awet.


TRADISI KAWIN COLONG


Di Banyuwangi, masyarakat adat suku Osing mengenal istilah kawin colong, artinya menikah dengan membawa lari pasangan terlebih dahulu. Kawin colong terjadi pada pasangan yang saling mencintai, namun salah satu atau kedua orangtua tak sepakat. Bisa karena sudah dijodohkan atau beda status sosial. Karena tak direstui Sang jejaka dan Sang gadis sepakat bahwa pada hari tertentu Sang jejaka akan membawa lari Sang gadis.

Ketika melaksanakan colongan “mencuri gadis”, Sang jejaka biasanya ditemani oleh salah seorang kerabatnya yang mengawasi dari jauh. Dalam waktu tidak lebih dari 24 jam Sang jejaka harus mengirim seorang colok yaitu orang yang memberitahu keluarga Sang gadis bahwa anak gadisnya telah dicuri untuk dinikahi. Orang yang dijadikan colok tentu saja sosok yang mempunyai kelebihan dan kepandaian serta dihormati.

Utusan (colok) akan memberitahu orang tua Sang gadis bahwa anak gadisnya telah dicuri dan tinggal di rumah orang tua Sang jejaka melalui ungkapan “sapi wadon rika wis ana umabe sapi lanang, arane si X”. Yang dimaksudkan sapi wadon adalah Sang gadis dan sapi lanang adalah Sang jejaka.
Ketika mendapat pemberitahuan demikian, pihak orang tua Sang gadis yang semula kurang setuju biasanya tidak akan menolak karena beranggapan anak gadisnya tidak suci lagi. Kedua belah pihak kemudian mengadakan pembicaraan untuk merundingkan pernikahan mereka.

Dalam tradisi kawin colong, orang yang berperan penting dalam menyambungkan hubungan adalah colok/congkok. Colok semacam juru damai atau penyampai pesan. Ia menjadi perantara yang bertugas sebagai penghubung pihak keluarga calon pengantin laki-laki dengan pihak keluarga calon pengantin perempuan yang hendak dinikahkan. Colok diberi tugas untuk menghubungi keluarga perempuan yang dilarikan oleh pacarnya (melayokaken), atau menghubungi keluarga seorang laki-laki yang telah ngeleboni (memberi tahu bahwa anak gadisnya telah dibawa lari untuk dinikahi). Seorang colok menjelaskan keberadaan kedua calon pengantin dan sekaligus memusyawarahkan hari pernikahan mereka.

Biasanya keluarga laki-laki mencari orang yang berpengaruh, seperti sesepuh desa atau ulama sebagai colok. Tujuannya agar orangtua pihak perempuan segan serta bisa luluh dan adem hatinya.

Tidak gampang menjadi colok meski mereka adalah orang yang disegani. Kerap kali colok tetap ikut terimbas luapan emosi. Seorang colok pun harus pintar mendinginkan suasana. Selain membantu dengan memberi perspektif positif tentang pernikahan, colok juga punya trik untuk membuat orangtua pihak perempuan lebih lega.

Terkadang butuh waktu berhari-hari untuk menenangkan hati orangtua. Colok pun harus kerap datang ke rumah untuk meluluhkan hati mereka.

Budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimanyan, mengatakan, kawin colong menggambarkan kearifan masyarakat Using menghadapi persoalan. Colong artinya mencuri, tetapi mencuri untuk dinikahi meski ada proses setengah memaksa di dalamnya.

Tradisi kawin colong sangat jarang berakhir di meja hijau karena masyarakat Banyuwangi menganggapnya sebagai bagian dari adat dan tradisi. Pak RT, pak RW, lurah, atau hansip pun tak akan memperkarakannya ke pengadilan. Bahkan, bisa jadi mereka dulunya adalah pelaku kawin colong. Meski jarang, ada pula yang gagal dan berakhir di pengadilan. Biasanya kasus itu terjadi karena anak yang dicolong bukan berasal dari keluarga Osing.

Kawin colong biasanya berakhir damai dalam keluarga. Orangtua legawa menerima menantu pilihan anaknya. Anaknya pun bisa hidup bahagia dengan pilihannya. 

Colongan dalam masyarakat Using/Banyuwangi bukan dianggap sebagai perbuatan salah. Bahkan colongan dianggap sebagai bukti keberanian dan sekaligus simbol kejantanan, serta peredam konflik antara dua keluarga.

ARAK-ARAKAN PENGANTIN DAN PROSESI PERANG BANGKAT 

Tradisi perang bangkat dalam pernikahan adat suku Osing, Banyuwangi.
Rombongan arak-arakan pengantin Suku Osing.
Ada tradisi yang unik dalam pernikahan Suku Osing Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, yaitu tradisi arak-arakan pengantin yang begitu ramai hingga memacetkan arus lalu lintas jalan desa setempat.

Dalam tradisi tersebut, pihak pengantin lelaki diarak oleh keluarga dan famili. Yang ikut arak-arakan bukan hanya keluarga pengantin, namun semua barang seserahan dari mempelai laki-laki juga turut diarak. Seperti bantal, guling yang diikat dalam tikar, berikut alat-alat masak. Tak ketinggalan ayam, sendok sayur (irus), telur ayam kampung, kelapa, pisang, beras kuning dan alat makan sirih atau disebut wanci kinang.


Arak-arakan ini juga melibatkan sejumlah kesenian asli suku Using, seperti jaran kecak (kuda terlatih yang bisa menari). Kuda ini mengiringi kereta kuda yang dinaiki pengantin di sepanjang perjalanan. Ada juga Barong Kemiren, kesenian pitek-pitekan, dan kuntulan. Iring-iringan pengantin seperti ini akan berakhir di rumah mempelai pengantin wanita.

Yang menjadi heboh dan menarik dari tradisi iring-iringan pengantin Suku Osing ini, hampir semua warga yang rumahnya dilewati iring-iringan pengantin akan bergabung ke dalam rombongan. Mereka berbaur menjadi satu dengan kerabat, handai taulan dari kedua mempelai pengantin. Sehingga semakin mendekati rumah mempelai wanita, jumlah warga yang mengiringi akan semakin bertambah banyak.

Setiba di dekat rumah pengantin putri, mereka dihadang oleh jambangan. Terpasang selembar kain jarit yang diibaratkan sebagai gerbang. Setelah itu dilanjutkan dengan prosesi Perang Bangkat.

Tradisi perang bangkat suku Osing Banyuwangi.
Prosesi Perang Bangkat dalam pernikahan Suku Osing
Dari dalam gerbang, salah satu keluarga pengantin putri yang jadi penjaga gerbang menanyakan keperluan datangnya rombongan tidak dikenal itu. Begitu dijawab bahwa maksud kedatangannya adalah melamar sang putri, penjaga gerbang itu langsung marah dan menolak mereka. “Kami akan tetap melamar sang putri,” tegas ketua rombongan pengantin putra.

Penjaga gerbang dan ketua rombongan pengantin putri, sempat adu mulut. Hingga akhirnya, keduanya bertarung (perang) dengan menggunakan berbagai senjata. Senjatanya bukan senjata yang lazim digunakan untuk berperang. Mereka menggunakan senjata alat dapur seperti irus, siwur, kelapa, telur dan bahkan ayam hidup. Dalam perang ini, pihak penjaga gerbang ternyata kalah. “Kalau begitu, lamaran saya terima. Tapi, kami minta syarat,” pinta penjaga gerbang itu.

Sebagai syarat, ketua rombongan lalu menyerahkan berbagai ‘upeti’ seperti kasur dan bantal, kembang panca warna, wanci kinangan, wanci kendi, dan sebagainya. “Semua ini, kami serahkan untuk sang putri sebagai syarat,” cetus ketua rombongan mempelai pria.

Perang bangkat ini diakhiri dengan dipertemukan pasangan pengantin. Keduanya, diminta untuk bersalaman sambil didoakan oleh sesepuh suku Using.

Dinamakan Perang Bangkat, lantaran prosesi yang penuh petuah ini selama berlangsung layaknya sebuah perang. Namun bukan perang fisik. Melainkan perang argumentasi yang dikemas dengan sebuah drama antara pihak mempelai laki-laki (Raja) dan pihak mempelai wanita (Ratu). 

Namun Perang Bangkat itu hanya sebatas formalitas belaka sebelum penghulu dari Kantor Urusan Agama menikahkan calon pengantin secara resmi. Meski begitu Suku Using Banyuwangi sangat menjunjung nilai luhur yang terkandung dari upacara tersebut.

Dari ritual perang bangkat tersebut, yang paling ditunggu oleh warga yang menyaksikan dan mengikuti tradisi ini adalah saat beras kuning bercampur uang koin dilempar diakhir acara. Tanpa dikomando lagi akan diperebutkan oleh warga. Terutama bagi mereka yang belum memiliki jodoh. sebab uang-uang koin itu dipercaya dapat menjadi perantara bertemu dengan jodoh masing-masing.

Itulah sekilas pelaksanaan perang bangkat, yang jadi tradisi khusus dalam suku Using pada pernikahan. Dalam upacara itu, peran ketua rombongan dan penjaga gerbang dilakukan oleh sesepuh Suku Using yang dianggap memiliki kelebihan tertentu.

Tradisi perang bangkat dalam pernikahan suku Osing ini tidak berlaku untuk semua pasangan pengantin, tetapi hanya berlangsung dalam kondisi tertentu saja. Yaitu bila kedua pasangan pengantin itu sama-sama anak sulung atau bungsu, maka perang bangkat harus dilaksanakan. Perang bangkat juga dilakukan jika anak sulung mendapat jodoh anak bungsu.

Upacara tradisi perang bangkat ini, semuanya berupa simbol-simbol. Alat perang berupa irus, siwur, kelapa, dan telur, semuanya hanya menjadi simbol agar pasangan pengantin ini bisa langgeng. Irus sebagaia simbol agar pasangan pengantin berlangsung terus sampai kakek-nenek hingga meninggal, sedang siwur itu maksudnya agar jika bicara tidak sembarangan. Perang bangkat ini ibaratnya seperti tolak balak. Kalau tidak melakukan, biasanya pasangan pengantin akan banyak godaan dan rintangan dalam perjalanan hidupnya.

Demikianlah beberapa tradisi yang terdapat di masyarakat suku Osing di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Tradisi-tradisi tersebut hingga saat ini masih berjalan dan terus dilestarikan oleh generasi muda suku Osing. Beberapa diantaranya bahkan dikembangkan dalam bentuk festival. Selain tradisi yang unik, masyarakat Osing juga memiliki seni budaya yang tetap terjaga.


Artikel BANYUWANGI BAGUS Lainnya :

3 komentar:

Scroll to top