TRADISI PETIK LAUT MUNCAR

Petik Laut Muncar - Sebagai daerah yang memiliki garis pantai yang panjang, Di Banyuwangi pun dikenal berbabagai tradisi ucapan syukur para pelaut yang dikenal sebagai upacara petik laut. Salah satu tradisi petik laut di Banyuwangi yang sudah berlangsung lama adalah Petik Laut Muncar.

Tradisi Petik laut Muncar, Banyuwangi.
Iringan perahu yang mengikuti Petik Laut Muncar (sumber : Beritadaerah.co.id)
Muncar adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Banyuwangi yang terletak di wilayah selatan, jaraknya sekitar 35 kilometer dari kota Banyuwangi. Dengan letak wilayah yang berada di pesisir pantai, tak heran mayoritas penduduk asli daerah ini adalah nelayan. Muncar menjadi pelabuhan besar bagi para nelayan dari Madura, Lombok, Bali, Mandar, serta Using dan nelayan dari Jawa. Bahkan Muncar dikenal sebagai salah satu daerah penghasil ikan terbesar di Indonesia.

Berkaitan dengan mata pencaharian penduduknya sebagai nelayan, masyarakat Muncar menyandarkan kehidupan mereka dari hasil tangkapan laut, karenanya mereka merasa wajib untuk melakukan sedekah laut sebagai bagian mengucap syukur atas berkah laut yang mereka terima. Dari sini lahirlah tradisi petik laut Muncar.

Konon awal mula ritual ini berkaitan dengan kehadiran warga Madura yang dikenal sebagai pelaut. Hal ini ditandai dominannya ornamen suku Madura dalam ritual petik laut, seperti terlihat dari seragam pakaian Sakera, berupa baju hitam dan membawa clurit, simbol warga Madura yang pemberani.

Seragam Sakera tersebut disiapkan khusus untuk upacara dan hanya dipakai sekali demi menjaga kesakralan upacara. Setiap kali petik laut digelar, seragamnya selalu baru. Orang yang berperan sebagai Sakera pun dipilih yang berbadan besar. Penampilannya sangar dan angker, dengan kumis tebal dan gelang besar. Namun Sakera juga diharuskan tampil lucu.

Tak hanya itu, Sakera juga menjadi pengaman jalanya ritual. Mereka selalu berjalan di depan mengawal sesaji dari lokasi upacara ke tengah laut, lalu mengatur warga yang ingin berebut naik perahu.

Sesepuh adat juga mengenakan baju Sakera, serba hitam. Bagian dalam kaus loreng merah putih, memakai udeng batik merah tua.

Petik laut Muncar merupakan ritual tahunan yang diadakan setiap tahun pada bulan Muharam atau Syuro dalam penanggalan Jawa. Waktu pelaksanaan petik laut tiap tahun berubah karena berdasarkan penanggalan Qamariah dan kesepakatan pihak nelayan. Biasanya digelar saat bulan purnama, karena saat itu terjadi air laut pasang sehingga nelayan tidak melaut. Inti ritual petik laut Muncar adalah melarung sesaji ke tengah samudera.

Tujuan utama ritual petik laut adalah untuk untuk memohon berkah rezeki dan keselamatan sekaligus ungkapan syukur atas rahmat Tuhan yang dilimpahkan dalam bentuk hasil penangkapan ikan.

Prosesi Ritual Petik Laut Muncar
Ritual petik laut diawali pembuatan sesaji oleh sang pawang yang merupakan sesepuh nelayan yang merupakan keturunan warga Madura yang sudah ratusan tahun turun-temurun mendiami pelabuhan Muncar. Dengan dibantu masyarakat, mereka menyiapkan segala kelengkapan ritual petik laut.
Sesaji utama pada acara “petik laut” adalah kepala kambing kendit, yaitu kambing dengan warna kepala hitam sedangkan badannya putih. Warna kambing hitam dan putih melambangkan sifat baik dan buruk manusia.

Sementara kepala kambing sengaja dipertahankan utuh dengan isi otaknya lengkap. Untuk sesaji juga diperlukan mata kaki dan darah kambing. Maksudnya, agar nelayan dalam bekerja menggunakan kaki, tangan, dan otak untuk berpikir serta mau bertindak berani dibarengi dengan mata hati,” jelas Aekanu Hariyono dari Dinas Pariwisata Banyuwangi.

Selain kambing, warga juga mempersiapkan aneka sesaji lainnya, seperti ayam jantan hidup, pisang raja, kemenyan berisi kapur, sirih, tembakau, serta beragam jajanan pasar, seperti jenang berwarna-warni, bubur merah-putih, dan biji-bijian. Tidak ketinggalan aneka buah-buahan, umbi-umbian, dan sayur-sayuran, kembang telon, kembang setaman, tebu hitam, serta pohon pisang dengan buahnya.
Bunga-bungaan, seperti bunga mayang yang direndam dalam air di wadah kuali tanah liat dan kendi juga disertakan.

Pisang raja sebagai lambang bahwa nelayan dalam bekerja ibarat jago bertarung yang berani mati, pantang menyerah, dan sebagai raja lautan yang berbantal ombak dan berselimut angin.
Sementara kemenyan yang berisi kapur, sirih, dan tembakau sebagai lambang agar masyarakat ingat pada petuah dan menghormati orang yang lebih tua serta ingat pada leluhurnya.

Ada juga Pancing emas yang disimbolkan sebagai pengingat para nelayan bahwa bekerja di lautan itu nilainya ibarat emas, perlu pengorbanan, demi menghidupi keluarga.

Masih ada lagi, damar kambang, yaitu wadah yang terbuat dari tempurung kelapa yang diisi minyak kelapa sebagai bahan bakarnya sehingga menghasilkan nyala api yang terang dan tenang. Damar kembang mengandung makna lentera dalam kehidupan agar manusia selalu meminta petunjuk dan penerang kepada yang Maha Esa, jelas Aekanu.

Sore hari, setelah semuanya siap, sesaji itu diarak dari rumah pawang menuju tempat githik disiapkan. Sang pawang memimpin arak-arakan sembari berjalan dan menyebarkan beras kuning.
Gitik adalah sebuah perahu kecil sepanjang 5 meter yang disiapkan sebagai perahu sesaji. Gitik ini dibuat seindah mungkin dan mirip kapal yang biasa digunakan nelayan melaut.

Gitik biasanya disiapkan oleh salah seorang tokoh masyarakat yang ditunjuk dalam musyawarah bersama. Semua sesaji ditata, diracik di dalam githik dengan beragam persyaratan. Benda-benda khusus dipilih dan ditambahkan sebagai kelengkapannya.

Pada malam harinya, di tempat githik itu diadakan selamatan, pengajian, dan doa bersama serta dilanjutkan dengan seni mamaca, yaitu membaca dan melagukan syair dari kitab Anbiya yang berisi kisah Nabi Sulaiman dan Nabi Yusuf secara bergantian, sambil tirakatan sampai pagi.

Pada harinya, sejak pagi ratusan nelayan berkumpul di rumah sang pawang. Mereka menggunakan baju khas Madura sambil membawa senjata clurit. Diawali dengan prosesi idher bumi, yakni mengarak githik berisi sesaji keliling kampung sebelum menuju pantai Muncar. Prosesi tersebut dipimpin langsung oleh sang pawang.
Prosesi ider bumi sebelum larung sesaji (sumber : Jalanasyik.wordpress.com)
Dibelakangnya mengikuti kelompok musik modern maupun tradisional. Ada marching band, hadrah kuntulan, dan sekelompok gandrung lengkap dengan alat musiknya mengiringi idher bumi. Para penari gandrung menari di depan githik sebelum arak-arakan idher bumi dilaksanakan. Sepanjang jalan menuju pantai banyak warga yang mengikuti di belakang. Arak-arakan gitik pun berakhir di tempat pelelangan ikan.
Gitik siap dilarung (sumber : Jalanasyik.wordpress.com)
Setibanya di tempat pelelangan ikan, sesaji disambut enam penari Gandrung. Setelah doa oleh tokoh agama, sesaji diangkut menuju perahu besar untuk dilarung ke tengah laut. Warga berebut untuk bisa naik perahu pengangkut sesaji. Namun, dengan sigap petugas membatasi penumpang yang ikut ke tengah.
Penari Gandrung dinaikkan perahu (sumber : Telusurindonesia.com)
Sebelum diberangkatkan, kepala daerah diwajibkan memasang pancing emas di lidah kepala kambing. Ini simbol permohonan nelayan agar diberi hasil ikan melimpah.

Menjelang tengah hari, iring-iringan perahu bergerak ke laut. Bunyi mesin diesel menderu membelah ombak. Suara gemuruh lewat sound-system menggema di tiap perahu.

Dari kejauhan barisan perahu berukuran besar bergerak kencang. Hiasan umbul-umbul berkibar menambah suasana makin sakral. Begitu padatnya perahu yang bergerak, sehingga beberapa kali tabrakan kecil tak terelakkan.
Iring-iringan perahu jenis slerek mengantar sesaji untuk dilarung di tengah laut (sumber : Blog.goindonesia.com)
Petik laut Muncar 2012, dimeriahkan perahu batik (sumber : Dian Grand, Grup Facebook Banyuwangi Bersatu)
Petik laut Muncar.
(sumber : Beritadaerah.co.id)
Iring-iringan berakhir di sebuah lokasi berair tenang, dekat semenanjung Sembulungan. Kawasan ini sering disebut Plawangan. Seluruh perahu berhenti sejenak. Dipimpin sesepuh nelayan, sesaji pelan-pelan diturunkan dari perahu. Teriakan syukur menggema begitu sesaji jatuh dan tenggelam ditelan ombak.
Sesaji dilarung (sumber : Portal.Banyuwangikab.go.id)

Sesaat setelah sesaji tenggelam, para nelayan berebut menceburkan diri ke laut. Mereka berebut mendapatkan hasil bumi pada sesaji. Nelayan juga menyiramkan air yang dilewati sesaji ke seluruh badan perahu. Mereka percaya air ini menjadi pembersih malapetaka dan diberkati ketika melaut nanti. 

Dari Plawangan, iring-iringan perahu bergerak menuju Sembulungan untuk berziarah ke makam Sayid Yusuf, orang pertama yang dipercaya membuka daerah tersebut.
Semenanjung Sembulungan (sumber : Deppoyeppoy.blogspot.co.id)
Prosesi belum usai, pawang gandrung pun mengambil alih acara pamungkas. Para penari Gandrung digendong menuruni perahu yang ditumpangi mereka menuju makam leluhur. Mereka akan menari di makam Buyut Gantung dan makam Sayid Yusuf di daratan Semenanjung Sembulungan di dalam kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Para penari itu menari dalam balutan aura ritual pemujaan, memberi hormat dan bersujud di depan pusara nenek moyang dan diakhiri dengan mengelilingi makam sebanyak tiga kali.
Di pantai berpasir putih ini, nelayan kembali melarung sesaji ke dua kalinya. Hanya, jumlahnya lebih sedikit. Sebuah sasaji ditempatkan di nampan bambu dilarung pelan-pelan. Konon ini memberikan persembahan bagi penunggu tanjung Sembulungan.

Ritual diakhiri selamatan bersama. Kemudian dilanjutkan menikmati tarian Gandrung dengan gending-gending klasik suku Using hingga sore hari. 

Menurut Aekanu, ada mitos bahwa masyarakat Muncar menyimpan sejarah masa lalu yang unik. Konon, dulu petik laut berfungsi sebagai meruwat laut atau rokat tase yang dilakukan di Semenanjung Sembulungan berada di belantara hutan Alas Purwo yang sangat angker.

Alas Purwo dipercaya sebagai salah satu istana Nyai Roro Kidul (ratu Pantai Selatan) yang sangat erat hubungannya dengan Dewi Sri (dewi padi). Itu sebabnya gandrung selalu disajikan dalam ritual “petik laut” sebagai ikonnya. Hal itu pula yang menyebabkan “petik laut” Muncar berbeda dengan acara “petik laut” lainnya di Nusantara.  

Usai berziarah dan berdoa mereka akan kembali ke pelabuhan Muncar dan perahu nelayan yang akan mendarat akan disiram dengan air laut sebagai bentuk keberkahan dari Shang Hyang Iwak sebagai Dewi Laut. Berakhirlah ritual petik laut Muncar sebagai ritual laut terbesar dan termegah di Indonesia dilihat dari jumlah nelayan dan perahu yang terlibat.

Selain di Muncar, nelayan di pantai Grajagan, Pancer, dan Bulusan juga menggelar ritual petik laut pada Muharam.

sumber : 
- http://dotcomcell.com/BANYUWANGIONLINE/PETIKLAUT;
- http://www.koran-jakarta.com/?36394-ritual-komunal-yang-sarat-tradisi; 
- http://travel.kompas.com/read/2013/11/19/1709146/Petik.Laut.Cara.Nelayan.Muncar.Bersyukur.


PETIK LAUT MUNCAR
Tempat : Pelabuhan Muncar, Banyuwangi.
Waktu Pelaksanaan : Setiap tanggal 15 Bulan Suro

Artikel BANYUWANGI BAGUS Lainnya :

1 komentar:

  1. Tradisi petik laut semacam ini harus terus dilestarikan, selain untuk melestarikan budaya lokal juga bisa menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung. Tradisi petik laut Kota Pasuruan juga rutin digelar setiap tahun.

    BalasHapus

Scroll to top